Gugusan Taman Kepulauan Wakatobi - Pulau Hoga dan Suku Bajo
Sudah sejak lama, Wakatobi dikenal sebagai salah satu tujuan utama bagi para penyelam. Di sisi lain, gugusan kepulauan ini juga menyimpan epos budaya maritim dan menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi suku Bajo.
Pulau Hoga dan Suku Bajo Kepulauan Wakatobi
Masyarakat Wakatobi hidup tergantung dengan laut, dengan sampan tradisional yang berukuran kecil merupakan sarana mencari nafkah bagi mereka.
Untuk sampai ke pulau Hoga kita harus menyeberangi selat, yang jaraknya tidak terlalu lebar, dan Pulau Hoga sendiri terlihat sangat dekat. Namun, untuk menyeberang ke Pulau Hoga kita harus menggunakan sampan kecil nelayan Wakatobi.
Perjalanan yang ditempuhpun kurang lebih hanya memakan waktu sekitar setengah jam. Pulau Hoga adalah sebuah pulau kecil dalam gugusan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara.
Sebagian besar lanskap pulau ini dibentuk oleh lapisan karang, tidak banyak jenis tumbuhan yang dapat hidup di atasnya. Pohon cemara
laut, kelapa dan beberapa jenis semak mendominasi pemandangan.
Dipulau ini sudah terdapat beberapa penginapan berupa Bungalo, yang berbentuk rumah kayu panggung sederhana dan dikelola oleh penduduk setempat.
Bungalo-bungalo ini dibangun dengan menghadap kepada sebuah selat sempit yang menghubungkan Pulau Hoga dengan permukiman suku Bajo Sampela.
Serta kita dapat mennyaksikan sekawanan burung bangau mendarat dipantai yang dipenuhi lamun untuk berburu ikan kecil ataupun udang, sungguh pemandangan yang menyejukkan jiwa.
Masuk ke dalam air, saya menyaksikan pemandangan yang spektakuler: jenis-jenis ikan karang berwarna-warni melintas atau bersembunyi di antara terumbu karang.
Pulau karang ini menjadi sangat terkenal karena keberadaan Operation Wallacea Trust, sebuah organisasi penelitian konservasi alam yang menyediakan fasilitas pendukung bagi para peneliti, pemerhati ekologi, ilmuwan dan akademisi dari seluruh dunia yang tertarik pada konservasi dan keanekaragaman hayati.
Di Pulau Hoga yang terletak di jantung Coral Triangle, organisasi ini mendirikan sebuah stasiun dan laboratorium untuk penelitian bawah laut. Pada bulan-bulan tertentu, pulau ini akan dipenuhi oleh mahasiswa dan akademisi yang melakukan penelitian.
Diwaktu puncak kedatangan para peneliti, mahasiswa serta mahasiswa yang datang ketempat ini bisa berjumlah hingga 700-an orang, yang sudah pasti bungalo-bungalo yang ada disini sudah penuh dipesan, hingga wisatawan-wisatawan lokal yang datang dadakan akan kesulitan untuk mendapatkan tempat menginap.
Salah satu instruktur dan pemandu selam dari Hoga Dive Resort, Rahmat adalah warga lokal, seorang mantan pelaut yang andal, pada masa mudanya, ia pernah berlayar hingga perairan Timor Leste hanya dengan mengandalkan posisi bintang, tanpa bantuan kompas dan GPS.
Kita bisa minta untuk mendapatkan sebuah tur snorkelling singkat dari beliau. Sejak pertama kali tiba, bayangan mengenai keindahan alam bawah laut terus berkelebat di benak saya.
Dengan menggunakan perahu motor kecil, Rahmat membawa saya ke tengah laut, mendekati titik selam terdekat yang berjarak sekitar 1,5 km dari dermaga.
Di sekeliling kami air laut sebening kristal memantulkan cahaya seperti giok. Sinar matahari mampu menembus lapisan air dengan mudah. Di baliknya terlihat hamparan terumbu karang yang sehat.
Setidaknya ada 12 titik selam di Pulau Hoga, salah satu bagian yang mewakili kekayaan laut Wakatobi di mana 750 dari 850 jenis terumbu karang dunia terdapat di wilayah ini. Di Pulau Hoga terdapat beberapa operator selam yang dapat dijadikan rujukan untuk wisata bawah laut.
Masuk ke dalam air, saya menyaksikan pemandangan yang spektakuler: jenis-jenis ikan karang berwarna-warni melintas atau bersembunyi di antara terumbu karang dengan formasi dan bentuk yang imajinatif.
Seperti permen dengan aneka rupa dan rasa. Saya membayangkan diri sebagai anak kecil yang masuk ke pabrik cokelat milik Willy Wonka. Sesekali penyu atau mangsi melintas.
Saya berenang menjauhi Rahmat, menyusuri gigir palung yang menjorok sekitar lima hingga dua puluh meter ke bawah. Sesaat sebelum matahari terbenam, Rahmat mengajak saya kembali ke penginapan.
Angin dari Laut Banda sedikit mereda. Laut mulai agak tenang. Menjelang malam, saya memilih menghabiskan waktu dengan bercengkerama di warung milik Bang Ola, yang dipenuhi oleh peneliti muda yang memesan mi instan dan kentang goreng.
Di luar fakta bahwa rendang adalah salah satu masakan terlezat di dunia, satu hal yang tidak dapat dimungkiri ialah mi instan goreng memiliki rasa universal yang mampu menyatukan seluruh umat manusia dari berbagai latar belakang.
Keesokan harinya, Rahmat mengajak saya untuk berkunjung ke permukiman suku Bajo di Sampela. Rumah-rumah mereka dibangun di atas gosong dengan metode reklamasi tradisional, yaitu menyusun batuan karang sebagai struktur yang menopang rumah mereka yang terbuat dari kayu.
Antara satu rumah dengan rumah lainnya dihubungkan dengan parit atau jembatan kayu. Secara harfiah, kampung ini berdiri di atas air, terpisah dari daratan terdekat.
Model permukiman seperti ini adalah salah satu prototipe paling asli dari cara menetap suku Bajo, suku pengembara lautan, yang populasinya tersebar di perairan antara Indonesia, Thailand, Malaysia dan Filipina.
Meski tersebar di banyak negara, suku Bajo memiliki bahasa yang sama. Mereka bahkan juga memiliki seorang presiden yang sama yang bernama Abdul Manan.
Meski tersebar di banyak negara, suku Bajo memiliki bahasa yang sama. Mereka bahkan juga memiliki seorang presiden yang sama yang bernama Abdul Manan.
Saat mengunjungi Kampung Bajo Mola di Wangi-wangi, saya sebetulnya ingin sekali bertemu dengannya, namun saya kurang beruntung karena pada saat itu ia sedang berada di luar daerah.
Selama di Sampela, Rahmat mengajak saya berkunjung ke rumah Jabila, seorang pembuat kacamata renang kayu khas Bajo.
Saya menaiki tangga menuju balkon rumah yang ia sulap menjadi bengkel kerja. Permukaan lantai dipenuhi serpihan-serpihan kayu dan alat-alat pertukangan sederhana. Kacamata buatan Jabila terbuat dari kayu kontahu yang berwarna krem dengan corak merah.
Setiap hari, karena bekerja seorang diri, Jabila hanya mampu membuat tiga buah kacamata saja. “Kacamata saya ini sudah tersebar di seluruh dunia lho,” kata Jabila sembari memperlihatkan simbol kapal layar sebagai penanda dari karya yang dibuatnya.
“Pokoknya kalau melihat kacamata kayu dengan simbol ini, pasti buatan saya,” kata Jabila. Saya membeli beberapa karya Jabila sebagai buah tangan.
Saat menatap mata Najing, saya melihat bayangan lautan yang dalam dan teduh.
Selain Jabila, saya juga mengunjungi Najing, seorang Bajo tua yang separuh hidupnya dihabiskan di lautan.
Jejak-jejak petualangan tersebut memahat tubuhnya menjadi liat dan melengkung. Saat menatap mata Najing, saya melihat bayangan lautan yang dalam dan teduh.
Pria tua ini kemudian bercerita tentang asal muasal Bajo Sampela, legenda-legenda yang mereka miliki, ingatan yang samar tentang pesawat tempur di masa perang hingga perubahan yang terjadi di kampungnya.
Najing mengaku, di masa mudanya ia mampu menyelam ke dasar laut selama beberapa menit. “Tapi sekarang aku sudah tua, sudah tidak kuat lagi menyelam,” kata Najing yang saat ini hidupnya bergantung dengan sang anak.
Di kalangan pria Bajo, keahlian menyelam memang menjadi salah satu keahlian yang dapat dipamerkan. Tapi mungkin itu dulu.
Karena saat saya tiba, pemuda-pemuda gagah Bajo Sampela sedang mempersiapkan pertandingan sepak bola melawan tim kesebelasan Pulau Kaledupa.
Terdengar aneh bagi saya karena bahkan di Kampung Sampela sendiri mereka tidak memiliki satu pun lapangan sepak bola.
Sore itu pertandingan bola berlangsung seru, semua gadis Sampela berdandan dan mengenakan pakaian terbaik mereka. Menggunakan puluhan sampan kecil, mereka melakukan eksodus ke pulau seberang demi menyaksikan tim kesayangan mereka.
Posting Komentar untuk "Gugusan Taman Kepulauan Wakatobi - Pulau Hoga dan Suku Bajo"
Posting Komentar